Kamis, 22 Desember 2011

Profil wirausaha sukses

 PROFIL WIRAUSAHA SUKSES (BOB SADINO)
Bob Sadino (Lampung, 9 Maret 1933), atau akrab dipanggil om Bob, adalah seorang pengusaha asal Indonesia yang berbisnis di bidang pangan dan peternakan. Ia adalah pemilik dari jaringan usaha Kemfood dan Kemchick. Dalam banyak kesempatan, ia sering terlihat menggunakan kemeja lengan pendek dan celana pendek yang menjadi ciri khasnya. Bob Sadino lahir dari sebuah keluarga yang hidup berkecukupan. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Sewaktu orang tuanya meninggal, Bob yang ketika itu berumur 19 tahun mewarisi seluruh harta kekayaan keluarganya karena saudara kandungnya yang lain sudah dianggap hidup mapan.


Bob kemudian menghabiskan sebagian hartanya untuk berkeliling dunia. Dalam perjalanannya itu, ia singgah di Belanda dan menetap selama kurang lebih 9 tahun. Di sana, ia bekerja di Djakarta Lylod di kota Amsterdam dan juga di Hamburg, Jerman. Ketika tinggal di Belanda itu, Bob bertemu dengan pasangan hidupnya, Soelami Soejoed.

Pada tahun 1967, Bob dan keluarga kembali ke Indonesia. Ia membawa serta 2 Mercedes miliknya, buatan tahun 1960-an. Salah satunya ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan sementara yang lain tetap ia simpan. Setelah beberapa lama tinggal dan hidup di Indonesia, Bob memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya karena ia memiliki tekad untuk bekerja secara mandiri.

Pekerjaan pertama yang dilakoninya setelah keluar dari perusahaan adalah menyewakan mobil Mercedes yang ia miliki, ia sendiri yang menjadi sopirnya. Namun sayang, suatu ketika ia mendapatkan kecelakaan yang mengakibatkan mobilnya rusak parah. Karena tak punya uang untuk memperbaikinya, Bob beralih pekerjaan menjadi tukang batu. Gajinya ketika itu hanya Rp.100. Ia pun sempat mengalami depresi akibat tekanan hidup yang dialaminya.

Suatu hari, temannya menyarankan Bob memelihara ayam untuk melawan depresi yang dialaminya. Bob tertarik. Ketika beternak ayam itulah muncul inspirasi berwirausaha. Bob memperhatikan kehidupan ayam-ayam ternaknya. Ia mendapat ilham, ayam saja bisa berjuang untuk hidup, tentu manusia pun juga bisa.

Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual beberapa kilogram telor. Dalam tempo satu setengah tahun, ia dan istrinya memiliki banyak langganan, terutama orang asing, karena mereka fasih berbahasa Inggris. Bob dan istrinya tinggal di kawasan Kemang, Jakarta, di mana terdapat banyak menetap orang asing.

Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan, babu orang asing sekalipun. Namun mereka mengaca pada diri sendiri, memperbaiki pelayanan. Perubahan drastis pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi feodal menjadi pelayan. Setelah itu, lama kelamaan Bob yang berambut perak, menjadi pemilik tunggal super market (pasar swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek.

Bisnis pasar swalayan Bob berkembang pesat, merambah ke agribisnis, khususnya holtikutura, mengelola kebun-kebun sayur mayur untuk konsumsi orang asing di Indonesia. Karena itu ia juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah.

Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi kegagalan. Perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira. Ia dan istrinya sering jungkir balik. Baginya uang bukan yang nomor satu. Yang penting kemauan, komitmen, berani mencari dan menangkap peluang.

Di saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana tidak harus selalu baku dan kaku, yang ada pada diri seseorang adalah pengembangan dari apa yang telah ia lakukan. Kelemahan banyak orang, terlalu banyak mikir untuk membuat rencana sehingga ia tidak segera melangkah. “Yang paling penting tindakan,” kata Bob.

Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia langsung terjun ke lapangan. Setelah jatuh bangun, Bob trampil dan menguasai bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman, mestinya dimulai dari ilmu, kemudian praktik, lalu menjadi trampil dan profesional.
Menurut Bob, banyak orang yang memulai dari ilmu, berpikir dan bertindak serba canggih, arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain.

Sedangkan Bob selalu luwes terhadap pelanggan, mau mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. Dengan sikap seperti itu Bob meraih simpati pelanggan dan mampu menciptakan pasar. Menurut Bob, kepuasan pelanggan akan menciptakan kepuasan diri sendiri. Karena itu ia selalu berusaha melayani pelanggan sebaik-baiknya.

Bob menempatkan perusahaannya seperti sebuah keluarga. Semua anggota keluarga Kem Chicks harus saling menghargai, tidak ada yang utama, semuanya punya fungsi dan kekuatan.

Anak Guru
Kembali ke tanah air tahun 1967, setelah bertahun-tahun di Eropa dengan pekerjaan terakhir sebagai karyawan Djakarta Lloyd di Amsterdam dan Hamburg, Bob, anak bungsu dari lima bersaudara, hanya punya satu tekad, bekerja mandiri. Ayahnya, Sadino, pria Solo yang jadi guru kepala di SMP dan SMA Tanjungkarang, meninggal dunia ketika Bob berusia 19.

Modal yang ia bawa dari Eropa, dua sedan Mercedes buatan tahun 1960-an. Satu ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Ketika itu, kawasan Kemang sepi, masih terhampar sawah dan kebun. Sedangkan mobil satunya lagi ditaksikan, Bob sendiri sopirnya.

Suatu kali, mobil itu disewakan. Ternyata, bukan uang yang kembali, tetapi berita kecelakaan yang menghancurkan mobilnya. ”Hati saya ikut hancur,” kata Bob. Kehilangan sumber penghasilan, Bob lantas bekerja jadi kuli bangunan. Padahal, kalau ia mau, istrinya, Soelami Soejoed, yang berpengalaman sebagai sekretaris di luar negeri, bisa menyelamatkan keadaan. Tetapi, Bob bersikeras, ”Sayalah kepala keluarga. Saya yang harus mencari nafkah.”

Untuk menenangkan pikiran, Bob menerima pemberian 50 ekor ayam ras dari kenalannya, Sri Mulyono Herlambang. Dari sini Bob menanjak: Ia berhasil menjadi pemilik tunggal Kem Chicks dan pengusaha perladangan sayur sistem hidroponik. Lalu ada Kem Food, pabrik pengolahan daging di Pulogadung, dan sebuah ”warung” shaslik di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta. Catatan awal 1985 menunjukkan, rata-rata per bulan perusahaan Bob menjual 40 sampai 50 ton daging segar, 60 sampai 70 ton daging olahan, dan 100 ton sayuran segar.

”Saya hidup dari fantasi,” kata Bob menggambarkan keberhasilan usahanya. Ayah dua anak ini lalu memberi contoh satu hasil fantasinya, bisa menjual kangkung Rp 1.000 per kilogram. ”Di mana pun tidak ada orang jual kangkung dengan harga segitu,” kata Bob.

Om Bob, panggilan akrab bagi anak buahnya, tidak mau bergerak di luar bisnis makanan. Baginya, bidang yang ditekuninya sekarang tidak ada habis-habisnya. Karena itu ia tak ingin berkhayal yang macam-macam.

Haji yang berpenampilan nyentrik ini, penggemar berat musik klasik dan jazz. Saat-saat yang paling indah baginya, ketika shalat bersama istri dan dua anaknya.
Profil dan Biodata Bob Sadino

Nama :
Bob Sadino
Lahir :
Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933
Agama :
Islam

Pendidikan :
-SD, Yogyakarta (1947)
-SMP, Jakarta (1950)
-SMA, Jakarta (1953)

Karir :
-Karyawan Unilever (1954-1955)
-Karyawan Djakarta Lloyd, Amsterdam dan Hamburg (1950-1967)
-Pemilik Tunggal Kem Chicks (supermarket) (1969-sekarang)
-Dirut PT Boga Catur Rata
-PT Kem Foods (pabrik sosis dan ham)
-PT Kem Farms (kebun sayur)

Alamat Rumah:
Jalan Al Ibadah II/12, Kemang, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Telp: 793981

Alamat Kantor :
Kem Chicks Jalan Bangka Raya 86, Jakarta Selatan Telp: 793618


Profil Wanita Pengusaha Sukses Bisnis Boneka

 Diawali dari sebuah tekad yang besar Tuti Nurhayati mencoba banting setir membuat boneka demi membantu kebutuhan ekonomi keluarga, pengalaman membuat bonekanya itu ia peroleh setelah kurang lebih bekerja lima tahun sebagai karyawan dipabrik boneka Aurora asal Korea. Tuti mengawali bisnis bonekanya sejak tahun 2001. Pada awal bisnisnya, ia mengalami berbagai kendala yang dihadapi diantaranya kendala pendanaan dan pemasaran.
Namun berkat kerja keras dan keuletannya, ia berhasil meraih kesuksesannya sebagai pembuat boneka di Jakarta. Lewat  workshopnya di wilayah Kemayoran Jakarta, omset puluhan hingga ratusan juta rupiah mampu ia kantongi per bulannya. Dari usaha itu, Tuti tidak terlepas dari keaktifannya bersama Perkumpulan Keterampilan Keluarga (PKK), di daerah Kemayoran Jakarta. Yaitu mengembangkan  pembuatan boneka yang telah ia kuasai bersama organisasi perempuan tersebut.
Dengan modal awal yang tidak sampai Rp 1 juta, Tuti memproduksi boneka-boneka dan mencoba memasarkannya ke toko-toko boneka di Jakarta. Dari toko ke toko ia jajaki dengan menawarkan berbagai contoh produk boneka buatannya. Pada saat itu, banyak toko boneka yang sudah memiliki suplai tetap terutama dari pabrik boneka besar sehingga tidak mudah untuk menembusnya.
Menjalankan bisnis boneka tidak semudah apa yang dibayangkan Tuti sebelumnya. Pada tahun 2006, ia pernah mengalami kejatuhan usaha yang hampir membawa pada kebangkrutan karena masalah permodalan dan pemasaran yang berkurang. Akhirnya ia sering mengikuti pameran-pameran dan hasilnya lumayan. Disamping itu, ia juga mendapat suntikan modal dari salah satu bank BUMN sebesar Rp 49 juta. Dengan demikian secara perlahan bisnisnya mulai beranjak naik dan mampu bangkit kembali.
Dalam mengembangkan bisnis bonekanya itu, Tuti selalu memegang sebuah prinsip yaitu melakukan terobosan pembuatan model dan desain-desain boneka baru yang inovatif. Semua itu ia pelajari dari berbagai media seperti televisi, majalah, internet dan lain sebagainya. Melalui 25 karyawannya, ia mampu menjual ribuan boneka per bulan, bahkan dalam acara-acara khusus untuk promo setiap order mencapai 2.000 boneka untuk satu perusahaan. Harga boneka yang ia jual pun beragam mulai dari yang termurah Rp 10.000 hingga Rp 350.000 per buah.
Tuti mengupayakan selalu mengembangkan model produk bonekanya secara periodik, agar konsumennya tetap tertarik dengan hasil produknya. meskipun diakuinya untuk beberapa model seperti boneka beruang atau jenis-jenis binatang lainnya masih menjadi primadona di pasaran. Sedang untuk boneka karakter jarang ia produksi, karena selain hanya momen tertentu persaingannya pun sudah banyak.
Kini produk bonekanya sudah dikenal dan dicari orang, tak heran toko-toko boneka di kawasan Mangga Dua dan Cempaka Mas Jakarta selalu menjadi langganannya. Penjualannya pun sampai Rp 100 juta per bulan, meski tergantung orderan.  Saat ini produk-produk bonekanya masih dipasarkan terbatas di pasar lokal saja, diantaranya di wilayah Jabodetabek, Banjarmasin Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Makasar, Lampung, dan lainnya. Meski sempat jatuh bangun dalam membangun usaha bonekanya, akhirnya wanita asal Sukabumi ini telah menikmati bisnisnya yang berjalan hampir 10 tahun, dengan margin 10%-20% setidaknya ia sudah bisa menikmati hidup sebagai seorang pengusaha sukses tanpa harus menjadi orang gajian.
     Diakui Tuti tantangan bisnis dalam bidang boneka ini terus dinamis selain harus bersaing dengan industri besar, persaingan dengan barang-barang impor dilakoni terutama terhadap produk-produk boneka asal China yang terkenal harganya yang murah. Begitulah nasib seseorang yang tidak ada yang mampu menduganya, yang awalnya dari seorang pekerja biasa, bisa menjadi pengusaha sukses dengan menekuni bisnis pembuatan boneka. Semangat, tekad yang besar dan keuletan perjuangan dari seorang Tuti Nurhayati dalam menggeluti bisnis bonekanya itulah yang patut kita jadikan contoh, semoga kisahnya bisa menjadi motivasi bisnis bagi semua wanita. Salam sukses.




di posting oleh :

TAMUN MUNANDAR 
12119235
12.1B.24

Tidak ada komentar: